Angka Kematian Bayi Masih Tinggi, Indonesia Butuh Revolusi Kelahiran
Setiap hari, 200 bayi meninggal di Indonesia—dan sebagian besar kematian terjadi di rumah sakit.

i tengah kemajuan teknologi dan layanan kesehatan, Indonesia masih bergulat dengan angka kematian bayi yang tinggi. Setiap harinya, sekitar 200 bayi meninggal dunia, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kasus kematian bayi tertinggi di Asia Tenggara. Bahkan menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, posisi Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Laos dan Myanmar.
Sebagai perbandingan, Singapura mencatat hanya 2 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup. Malaysia berada di angka 6–7, Thailand 7–8, dan Vietnam pun lebih baik dari Indonesia. Sementara Indonesia masih berada di kisaran 16–17 kematian per 1.000 kelahiran.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen kematian bayi terjadi di rumah sakit. Tiga penyebab utama adalah sepsis neonatorum, gangguan pernapasan (RDS), dan kelainan bawaan. Ironisnya, sebagian besar kematian terjadi bukan karena kurangnya fasilitas, tetapi karena buruknya tata kelola layanan persalinan dan rujukan.
“Kalau ruang operasi saja masih berantakan, infeksinya pasti banyak. Itu yang harus dibereskan dulu,” tegas Menkes dalam peringatan World Patient Safety Day 2025. Ia menyoroti kondisi ruang operasi yang tidak layak, bahkan di rumah sakit milik Kemenkes sendiri. Bekas perban berdarah yang dibiarkan sembarangan menjadi simbol lemahnya kontrol infeksi di fasilitas kesehatan.Pemerintah menargetkan penurunan angka kematian bayi dari 30 ribu menjadi 20 ribu kasus per tahun. Untuk itu, Kemenkes menyiapkan enam strategi utama:
- Pencatatan Akurat – Registrasi kematian bayi dan ibu diperkuat hingga tingkat kabupaten/kota, termasuk penyebabnya.
- Perbaikan Layanan Rumah Sakit – Fokus pada pengendalian infeksi, penanganan sepsis, dan tata kelola persalinan risiko tinggi.
- Sistem Rujukan Terintegrasi – Persalinan normal ditangani bidan dan puskesmas, sementara kasus berisiko tinggi dirujuk lebih dini ke rumah sakit.
- Penguatan Kompetensi Bidan dan Dokter – Bidan diklasifikasi berdasarkan kompetensi, dan dokter puskesmas dilatih mendeteksi risiko sejak dini.
- Peningkatan Pemeriksaan Kehamilan (ANC) – Jumlah pemeriksaan dinaikkan dari enam menjadi delapan kali sesuai standar WHO.
- Proyek Percontohan di Jawa Barat – Kabupaten Bogor, Garut, dan Bandung dijadikan model penanganan sebelum diperluas ke wilayah lain.
Langkah-langkah ini diharapkan mampu mendeteksi risiko lebih dini, mempercepat rujukan, dan memastikan bayi lahir dalam kondisi aman. Pemerintah juga menekankan bahwa target penurunan angka kematian bukan sekadar formalitas data, melainkan nyawa yang benar-benar terselamatkan.Di era digital dan urbanisasi cepat, revolusi kelahiran menjadi keharusan. Bayi bukan statistik, melainkan masa depan bangsa. Dan setiap nyawa yang gagal diselamatkan adalah alarm bahwa sistem kesehatan belum sepenuhnya berpihak pada kehidupan.